halo.... kali in gue yang memposting sebuah cerita rakyat dari
jawa barat, betewe panggil gua Nia. Tanpa ba bi bu... this the story...
Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan
bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki
panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan
raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita
dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu
lagi bernama Anteh.
Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.
Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.
“Kau jangan
memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua denganku,” kata putri.
“Bagiku kau
tetap adik tercintaku. Tidak perduli satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat
sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap
bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku hukum!”
“Baik
Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.
“Anteh,
sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.
“Ah, iri
kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata
Anteh heran.
“Apa kau
tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang putri, pasti sudah
banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil tersenyum.
“Ha ha ha..
kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Yang cantik
tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia
sampai terpesona melihat kakak. Iya kan kak?” jawab Anteh dengan semangat.
“Ah kamu
bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. O ya
kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.
“Eeee…itu…itu…saya
yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.
“Benarkah?
Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus
membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju pengantinku?” seru putri.
“Aduh mana
berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak. Kalau jelek, saya pasti akan
dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.
“Tidak akan
gagal! Kemarin baju pesta saja bisa… jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata
putri tegas.
Suatu malam
ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke kamarnya.
“Endah
putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata ratu.
“Ya ibu,”
jawab putri.
“Endah, kau
adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu
memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus
memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.”
“Maksud
ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.
“ya nak,
dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang
cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari kadipaten wetan. Dia
pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia
bersamanya,” kata ratu.
“Dan kau
Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak
terjadi apa-apa padanya.”
“Baik gusti
ratu,” jawab Anteh.
Malam itu
putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya.
“Aku takut
sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa menikah dengan
orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?”
“Kakak
jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh.
“Saya yakin
gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda
mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak
tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Suatu pagi
yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul putri
Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu
saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang
merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda
tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar
suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat
sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia
bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang
sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar,
“alangkah
cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?” batinnya.
Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di
hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.
“Siapa
tuan?” tanya Anteh.
“Aku
Anantakusuma. Apakah kau…..” Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang
memanggil Anteh. “Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.
“Ya. Saya
segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari
meninggalkan Anantakusuma.
“Dia
ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma.
“Dan aku
jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.”
Beberapa
hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari
ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar
putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita.
Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah
dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia
kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya.
Tibalah
saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan
dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.
“Silahkan
mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat.
“Terima
kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.
Setelah
perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui sang putri.
“Bagaimana
kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami kakak? Wah ternyata dia sangat
tampan ya?” kata Anteh. Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar
kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh
dengan penuh cinta.
“Anteh,
mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di
dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri Endahwarni.
“A..apa
kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget.
“Pokoknya
aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat
denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari
sini hari ini juga!”
“Tapi
kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh.
“Ah jangan
banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau Anantakusuma tidak
mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang
lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa
melupakanmu!” kata putri.
“Baiklah
kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun
ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih
saya pada Gusti Raja dan Ratu.”
Anteh
beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju kamarnya lalu mulai mengemasi
barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga putri
Endahwarni dengan baik.
Nyai Anteh
berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di
luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh
belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah
menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat
ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus
dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya.
“Maaf nak,
apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.
“Iya paman,
saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.
“Oh maaf
bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu
mirip sekali dengan kakakku Dadap,”
“Dadap?
Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana sebagai dayang?”
tanya Anteh.
“Ya….!
Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.
“Betul
paman!” jawab Anteh.
“Oh, kalau
begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru, adik ibumu,” kata paman
Waru dengan mata berkaca-kaca.
“Benarkah?
Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira.
“Sedang
apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya paman Waru.
“Ceritanya
panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah paman. Saya
tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.
“Tentu saja
nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita
pergi!” kata paman Waru.
Sejak saat
itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh
menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga,
lama-lama karena jahitannya yang bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun
ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh. Sehingga ia dan keluarga pamannya
bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.
Bertahun-tahun
telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu
hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali
pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan
kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri Endahwarni. Putri
Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh.
“Oh Anteh,
sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni? Kenapa tidak sekalipun kau
menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku Anteh.
Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal kau tidak bersalah.
Maafkan aku…” tangis putri.
“Gusti…jangan
begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata
Anteh.
“Tidak.
Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke
istana!” pinta putri.
“Tapi putri
aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika
saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh.
“Suami dan
anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata putri sambil
tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana.
Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”
Akhirnya
Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah
rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak
enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma, suami putri Endahwarni.
Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya.
Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya
pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran
Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.
Hingga
suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia
bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh sedang berada di
beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya
sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun
bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka
bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.
“Anteh!”
tegurnya. Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di
hadapannya.
“Pa..pangeran?
kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh
ketakutan.
“Aku tidak
perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah kau? Bahwa aku sangat
mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap
mencintaimu,” kata pangeran.
“Pangeran,
kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami putri Endahwarni. Dia
adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau
menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat.
“Aku tidak
bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku Anteh! Kemarilah
biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh.
Anteh
mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti
putri.”
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.
Anteh yang
ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran Anantakusuma tetap
mengejarnya. “Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba
kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat
sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak
hamba!”
Tiba-tiba
Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak dan
dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma
hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi
dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan.
Sejak saat
itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya ditemani kucing
kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut pangeran
Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah tak dapat
ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang tenunannya
tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan
purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani
Candramawat.
Begitulah kisah Nyai Anteh sang
penunggu bulan....
sumber:
http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/nyai-anteh-sang-penunggu-bulan